Wednesday, January 8, 2014

Chuunibyou demo Koi ga Shitai-Ren! Dimulai!



Januari ini serial lanjutan dari Chuunibyou Demo Koi ga Shitai telah dimulai.
Anime ini ditayangkan di TOKYO MX pada pukul 24:30、Sun TV pada pukul 24:30、KBSKyoto pada pukul 01:00、dan TerebiAichi pada pukul 02:05 dini hari.


"Musuh atau Teman"?

Bagaimana pergumulan kejiwaan anak muda yang "terperangkap" di dalam dunianya sendiri ketika harus berhadapan dengan sesama pesaing cinta? Takanashi Rikka dan Togashi Yuta pelan-pelan sudah tertarik ke dunia nyata kembali untuk menjalin hubungan yang lebih akrab akibat tinggal bersama, namun ternyata percintaan gaya normal dengan seorang gadis Chuunibyou terlalu berat untuk Yuta. Apa pula yang terjadi ketika Shichimiya Satone masuk ke dalam hubungan mereka berdua? Anak-anak muda ini kembali dalam sebuah Slapstick Kehidupan. 

"By Default" ataukah "By Design" ?
Apakah sekali lagi akan terlihat pergumulan anak manusia yang menggunakan kebudayaan sebagai tamengnya untuk bertahan hidup? Bisakah anak-anak ini mengatasi permasalahan sehari-hari dengan dunia (kekkai) yang mereka ciptakan sendiri? Tidakkah ini juga merepresentasikan tindakan manusia yang seakan-akan terjadi by default, lumrah dan dianggap alami; namun sebetulnya akan selalu kembali ke esensi awalnya: by design? Selalu merupakan suatu rancangan yang diatur sedemikian rupa?




sumber image: http://www.anime-chu-2.com/

Oiya, saat Kuzuha tiba-tiba muncul di kamar
dia bilang pulang untuk masuk semester baru (dari Jakarta);
ada gambar Bajaj, Trans Jakarta & Taksi B**Bird-nya lho lagi macet & hujan


kontribusi : Rizki Musthafa A
groverascorpoise@gmail.com

Sunday, September 15, 2013

Contemporary Feminism Thoughts

"Every day we learn something new"

 Quote yang cocok buat kita-kita yang penasaran dan ngga ada kerjaan di hari minggu sore ini. Well, hari ini Jayapoken mau berbagi sepenggal pemikiran baru dari pakar-pakar feminis kontemporer. Mereka merasa teori-teori feminis terdahulu, khususnya teori feminis 'first wave' dan 'second wave' sudah tidak cukup lagi untuk menganalisa kondisi budaya, sosial, politik dalam era globalisasi ini. Jika dulu ada gerakan feminisme terbagi menjadi tiga, yaitu sosialis, radikal, dan liberal, maka sekarang muncul gerakan feminis baru yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran post-struktualis dan post-modernisme, yaitu  feminisme dekonstruksi.
Para pakar feminisme dekonstruksi ini, memberikan kritik terhadap pemikiran feminisme tentang universalitas kata "women". Karena menurut mereka, akan sangat sulit untuk menggenaralisasikan kata "women" yang mengekspresikan pengalaman dari perempuan-perempuan Barat.
Pertanyaannya, "bagaimana perempuan-perempuan non-Barat, seperti Asia, Afrika?" apakah pengalaman mereka sama dengan perempuan-perempuan Barat? 
Maka, para penggerak feminisme dekonstruksi ini mencoba menganalisa kondisi ini dengan cara mendekonstruksi teori-teori feminisme tahun 1970-an yang notebene monopoli dari pemikiran Barat. Sebelum membahas lebih lanjut, Jayapoken akan memberikan Skema konsep keberadaan manusia yang disadur dari esai Moira Gatens berjudul "Power, Bodies and Differance (1992, 120-137).

Conceptualisizing Human Existence

Dominant social-political theories is a commitment of the dualism
central to Western Thought:

Nature --- Culture
Body --- Mind
Passion --- Reason
 

In the realm of social and political theory, as distinction between:
Reproduction --- Production
The Family --- The State
The Individual --- The Social 

Bagian sebelah kiri adalah konsep-konsep yang sangat dekat dengan feminitas. Sedangkan, bagian kanan sangat dekat dengan maskulinitas. Dengan kata lain, perempuan dikarakteristikkan lebih dekat dengan body, passions, reproduction, family, dan individual. Gatens menyebutkan sebagai karakteristik "as timeless and unvarying aspects of nature". Kemudian, karakteristik seperti Mind, reason, Social Production, the state, dan the social, adalah konsep-konsep yang dekat dengan laki-laki yang menunjukkan kedinamisan dan perkembangan. Jadi, berdasarkan pemikiran dualisme pemikiran Barat ini, perempuan dikarakteristikkan sebagai mahluk yang tidak memiliki sejarah dan reproduksi dari pengulangan kehidupan sehari-hari.
Nah, pemikiran dualisme Barat inilah yang ingin didekonstruksi oleh para feminis kontemporer. 

Disadur dari buku kumpulan esai berjudul Destabilizing Theory, diedit oleh Michele Barrett dan Anne Philip


Monday, December 17, 2012

Sekilas tentang Budaya Populer Jepang Tradisional



Budaya populer Jepang mulai berkembang sejak Jaman Edo. Ketika itu Jepang yang berada di bawah kekuasaan Tokugawa melakukan politik menutup diri dari dunia luar (sakoku). Sebagaimana disebutkan oleh Kato Hidetoshi (Powers & Hidetoshi, 1985),
“…Japan during her period of isolation achieved a unique cultural maturity. Indeed, as Arnold Toynbee aptly remarked, from 1612 through 1868, approximately two and a half centuries, there existed in Japan the only period in the whole of human history where absolute peace prevailed and society devoted its efforts to cultural enterprises. Of course, there were minor internal conflicts, but after the Tokugawa government firmly established its power, Japan's economic surplus, which otherwise would have been used for foreign investment and external expansion, found its outlet in the area of domestic cultural development, particularly popular culture in the strict sense of the term”.
Pada saat itu Jepang relatif serba damai sehingga konsentrasi masyarakatnya lebih difokuskan dalam perkembangan aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya.  Sebagaimana disebutkan Robert N. Bellah (Bellah, 1992:15) bahwa di bawah kekuasaan Tokugawa, Jepang mengalami perubahan dalam segi politik, sosial dan budaya, antara lain “… terbentuknya pasar nasional, keunggulan ekonomi uang, peningkatan urbanisasi, perbaikan sistem komunikasi, bertambah miskinnya kelas samurai, bertambah banyaknya kaum pedagang, munculnya budaya seni dan susastra baru yang lebih cocok bagi penghuni kota daripada kalangan istana……”.  Sementara itu, 
Timothy J. Craig (Craig, 2000:7) menyebutkan, “The bloodlines of today’s popular culture go back in particular to the vibrant bourgeois culture, born of the common people and aimed at the new urban middle class, which developed and flourished during Japan’s Edo Period (1603-1867)”. Pendapat Craig didukung oleh Nakane Chie. Ia menyatakan bahwa kebudayaan jaman Tokugawa adalah kebudayaan orang kota dimana budaya populer mendapat tempat istimewa. Adapaun penyataan Nakane Chie  (Nakane & Shinzaburo, 1991:228-229) adalah sebagai berikut :

Tokugawa culture is said to be a culture of the townsmen. Edo, Kyoto, and Osaka were primary centers of the cultural activity, but the wealth of the merchant class helped develop culture among both townspeople and, to some extent, farmers. In the visual arts, the theaters, and in all aspects of dress, diet, and home, popular culture show a remarkable degree of sophistication. 

Berdasarkan pendapat dari Kato, Bellah, Craig, dan Nakane di atas, dapat disimpulkan, budaya populer Jepang yang berkembang dewasa ini mempunyai hubungan erat dengan perkembangan budaya populer Jepang pada masa feodal, khususnya jaman Tokugawa. Oleh karena itu, budaya populer Jepang kontemporer harus dipahami sebagai sebuah tradisi budaya yang terus berkembang sejak periode Tokugawa. 

Saturday, December 15, 2012

Soft Power sebagai Public Diplomacy




13 Desember 2012, Direktur Regional Japan Foundation untuk Asia Tenggara, Mr. Tadashi Ogawa sebagai pembicara Public Lecture di Universitas Bina Nusantara, membahas New Public Diplomacy dengan judul “Inisiatif Jepang dalam Diplomasi Publik Baru”.  Beliau mengusung teori dari Mark Leonard, penggagas kebijakan luar negeri dari Inggris.
Latar belakang pentingnya Public Diplomacy :
1. Munculnya non-state actors dan organisasi supernational di skema politik dunia.
2. Batasan dari Hard Power.
3. Gelombang demokrasi pasca era perang dingin.
4. Teknologi komunikasi baru > soft power
5. Nasionalisme yang berlebihan, ekstrimis religius.
6. Konsep Nation Branding.

Harapannya bangsa Indonesia bisa memberikan dukungan kerjasama dengan Jepang, hal ini dapat dimulai dari hal yang kecil atau menggunakan soft power, yakni bertukar pikiran dengan jejaring sosial, seperti facebook, tweeter, myspace, dan sebagainya.

Bangsa Indonesia telah banyak mengambil kebudayaan Jepang untuk ilmu pengetahuan, etos kerja, bahkan sampai bidang hiburan. Namun beliau pun, tidak mengerti kenapa bangsa atau pemerintah Indonesia tidak mau bertukar kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya kepada Jepang? Apakah karena masalah finansial?

Setelah presentasi, ada pemutaran film yang berjudul “Fukushima is like my second some”, menggambarkan salah satu kegiatan kecil dari Public Diplomacy. Film ini diperankan oleh Profesional Snowboard, Jean Pierre Solberg. Dia mencoba mengembalikan citra Fukushima dengan membuat Nation Branding, “YES, 福島” / YES, Fukushima. Tujuan ini untuk mengundang para wisatawan datang ke Fukushima untuk bermain snowboard agar dapat meningkatkan investasi negara.


Mark Leonard

Tuesday, December 11, 2012

JAYAPOKEN DALAM ACARA NONTON BARENG SUTRADARA KEIICHI HARA (SUTRADARA FILM ANIMASI CRAYON SHIN-CHAN)

Tanggal 8 Desember 2012, Jayapoken berkesempatan hadir di dalam acara Nonton Bareng Sutradara Film Animasi Crayon Shin-chan, Keiichi Hara, yang diselenggarakan oleh Japan Foundation Indonesia. Acara ini diadakan sejak tanggal 7 Desember 2012 sampai 8 Desember 2012. Setelah nonton bareng, ada acara bincang-bincang dengan sutradara Keiichi Hara, yang khusus didatangkan oleh Japan Foundation Indonesia ke Jakarta. Nonton bareng ini diadakan di Plaza Senayan XII.  Untuk lebih jelasnya mengenai acara tersebut, silahkan mengklik link di bawah ini.


Ada dua film karya sutradara Keiichi Hara yang ditayangkan dalam acara ini yaitu :
Summer Days With Coo
河童のクゥと夏休み

Colorful
カラフル

Acara nonton bareng ini cukup banyak diminati dan dihadiri oleh anak-anak muda, khususnya mahasiswa/i. Filmnya sendiri memang bagus dan banyak mengandung kritik-kritik sosial. Terutama mengenai fenomena-fenomena sosial di Jepang seperti masalah Ijime いじめ (Bullying), polusi lingkungan, Enjoukousai 援助交際 (prostitusi di kalangan remaja), Jisatsu 自殺 (bunuh diri) liputan media yang berlebihan dan lain-lain. Selain yang tergambar langsung dalam film tersebut, banyak juga tanda-tanda yang mengandung makna-makna tersembunyi yang merepresentasikan pesan pembuat yang hendak disampaikan kepada penonton.

Pada acara bincang-bincang bersama sutradara Keiichi Hara, Jayapoken mendapat kesempatan untuk bertanya mengenai tanda-tanda yang ada di dalam film tersebut, yang dirasakan oleh Jayapoken sebagai suatu representasi makna pesan yang hendak disampaikan kepada penonton. Untuk film Summer Days with Coo (河童のクゥと夏休み), Jayapoken mencoba menanyakan beberapa pertanyaan, yaitu : tentang mengapa yang dijadikan tokoh utamanya adalah Siluman Kappa? Penggunaan musik tradisional Indonesia, yang umumnya digunakan pada adegan-adegan yang bersifat mistis. Kenapa pada akhirnya Kuu dipindahkan ke Okinawa sebagai penyelesaian masalahnya? Untuk film Colorful カラフル, Jayapoken mencoba menanyakan masalah penggunakan simbol kereta api dan stasiun di dalam film tersebut, yang notabene dimuncul di awal film dan tengah film. Kenapa Jayapoken menanyakan kereta api dan sesuatu yang berhubungannya ini, karena stasiun digunakan pada awal film yang menggambarkan adegan dalam yang terjadi di dalam dunia lain, lalu kereta api sendiri digunakan pada adegan meleburnya si tokoh utama dengan orang lain, adegan dimana tokoh utama mulai  bisa membuka hatinya kepada orang lain. Adegan tersebut juga digambarkan dengan menggunakan gambar campuran antara gambar animasi dengan gambar yang real. Karenanya Jayapoken menduga ada makna yang tersembunyi didalamnya.

Analisis mengenai film-film tersebut akan kami coba buat di bagian blog yang baru (^-^)

Pada kesempatan ini, Jayapoken juga berkesempatan untuk berfoto bersama dengan sutradara Keiichi Hara.
Ini nih fotonya (^^)b :

Terima kasih kami ucapkan pada Japan Foundation Indonesia yang telah mengadakan acara ini dan mengundang Jayapoken untuk hadir dalam acara ini. 有難う御座いました。(=^0^=)

Oh iya, pada hari itu juga kami bertemu dengan staff Kaori Nusantara. Kami juga sempat bertukarpikiran dan berdiskusi banyak mengenai budaya populer serta perkembangannya di Indonesia. Kami banyak juga belajar dari diskusi tersebut. Terima kasih Kaori Nusantara dan 頑張りましょう (^o^)/


Jazz dan Ekspresi Musik

              Musik adalah serangkaian pitch (melodi dan harmoni), irama (tempo, meter, dan artikulasi), dinamika, dan kualitas bunyi yang berupa timbre dan teksture. Kata musik berasal dari bahasa Yunani yaitu “mousike” atau “karya seni dari Muses”. Dalam mitologi Yunani, karya sastra dan puisi adalah inspirasi dari para dewi-dewi yang menciptakan karya sastra, ilmu pengetahuan, dan seni lainnya. Musik bagi manusia adalah inspirasi dari dewa-dewi dan dari inspirasi itu di-intepretasi-kan dalam medium bunyi dan suara.

              Jika kita menelusuri sejarah alat musik, 40.000 tahun yang lalu ketika masa Paleolitikum sudah ditemukan ‘flute’ atau seruling.

              Jazz adalah gaya musik original awal abad 20 oleh komunitas negro di Amerika bagian Selatan. Musik ini tercipta dari percampuran antara tradisi Afrika dan Eropa. Dalam bermusik, orang Afrika memiliki kemampuan memainkan notasi yang sendu (blue notes), improvisasi (improvisation), poliritmik (polyrhythms), sinkopasi (syncopation) dan notasi yang berayun (swung notes).[1]

              Pada awal 1910 di Amerika adalah awal perkembangan Jazz yang dimulai dengan New Orleans Jazz dan setelah itu menyebar luas ke seluruh Amerika, seperti pada tahun 1930-40an dada big band swing, Kansas City jazz, Gypsy jazz, dan bebop. Kemudian setelah tahun 1940-an, gaya musik jazz terus berkembang sampai sekarang, seperti West Coast jazz, cool jazz, avant-garde jazz, Afro-Cuban jazz, modal jazz, free jazz, Latin jazz, soul jazz, jazz fusion, jazz rock, smooth jazz, jazz-funk, punk jazz, acid jazz, ethno jazz, jazz rap, cyber jazz, Indo jazz, M-Base, nu jazz, dan urban jazz.

              Joachim Berendt, seorang jurnalis musik dari Jerman; mengatakan bahwa jazz berasal tindakan ketidakpuasan dan mendefinisikan jazz sebagai berikut :

form of art music which originated in the United States through the confrontation of blacks with European music”; “jazz differs from European music in that jazz has a “special relationship to time, defined as 'swing'”; “a spontaneity and vitality of musical production in which improvisation plays a role”; and “sonority and manner of phrasing which mirror the individuality of the performing jazz musician.”[2]

 

“Jazz adalah bentuk seni musik yang berasal dari Amerika melalui konfrontasi orang kulit hitam dengan musik Eropa. Berbeda dengan musik Eropa”; jazz memiliki keterkaitan khusus dengan waktu yang definisikan dengan swing”; “Jazz adalah permainan spontanitas dan improvisasi yang merupakan karya musik yang paling vital dalam bermusik”; dan “kesan dan ungkapan perasaan atas cerminan individualitas pemain jazz.”

           Profesor Krin Gabbard, dosen Universitas Estern Illinois dan pemain trumpet; mengatakan :

"jazz is a construct" or category that, while artificial, still is useful to designate "a number of music with enough in common to be understood as part of a coherent tradition.

(King Oliver's Creole Jazz Band, sekitar tahun 1919)


[1] Alyn Shipton, A New History of Jazz, 2nd ed., Continuum, 2007, pp. 4–5
[2] Joachim E. Berendt. The Jazz Book: From Ragtime to Fusion and Beyond. Translated by H. and B. Bredigkeit with Dan Morgenstern. 1981. Lawrence Hill Books. Page 371

Konsep Populer dalam Kajian Budaya Populer

Konsep terakhir dalam mengkaji budaya populer yang dipaparkan oleh John Storey adalah konsep Populer. Konsep populer ini juga berdasarkan penjelasan Raymond Williams dalam rangka mengkaji budaya populer. Sebagaimana konsep budaya sebelumnya, konsep populer juga mempunyai banyak makna dan interpretasi, tetapi, konsep populer yang akan dipaparkan di bawah merupakan konsep populer yang digunakan dalam mengkaji budaya populer. Adapun definisi konsep populer tersebut adalah sebagai berikut:

1. Well-liked by many people
2. Inferior kinds of work
3. Work deliberately setting out to win favor with the people
4. Culture actually made by the people for themselves

Dengan kata lain, untuk mendefinisikan budaya populer kita perlu mengkombinasikan konsep ‘budaya’, ‘ideologi’, dan ‘populer’yang ketiganya memiliki formulasi definisi sendiri-sendiri.
Berdasarkan ketiga konsep yang sudah dibahas sebelumnya definisi budaya populer dapat dipetakan sebagai berikut (Storey, 1993:6-14):
Popular culture is simply culture which is widely favored or well-liked by many people;
Popular culture is…the culture which is left over after we decided what is ‘high culture’;
Popular culture is as ‘mass culture’.
Popular culture is the culture which originates from ‘the people’.
Popular culture as a site of struggle between the forces of resistance of subordinate group
in society, and the forces of incorporation of dominant groups in society.
Popular culture in postmodern thinking 

Keenam definisi di atas diformulasikan berdasarkan dari perspektif dan metodologi yang
berbeda, tergantung dari sudut pandang mana kita ingin mengkaji budaya populer tersebut.

Tuesday, December 4, 2012

Rangkaian Pemutaran dan Diskusi Film yang mencerahkan, "Enlightenment, Emancipation, and Ideas of Progress


Pada hari selasa, tanggal 30 Oktober 2012 yang lalu, saya diundang oleh Japan Foundation Kine Klub sebagai salah satu pembicara di acara "Rangkaian Pemutaran dan Diskusi Film yang mencerahkan, "Englightment, Emancipation, and Ideas of Progress. Film yang diputar adalah berjudul Swing Girls. Acara diskusi ini merupakan acara rutin antara Japan Foundation Kine Klub dengan Freedom Institute yang diadakan setiap hari selasa terakhir setiap dua bulan tanpa dipungut bayaran, dengan kata lain gratisan.
Acara diawali dengan menonton bersama film Swing Girl, kemudian dilanjutkan dengan coffee and snack, baru setelah itu diskusi dimulai. Masing-masing pembicara diberikan waktu kurang lebih 15 menit untuk memberikan komentar dan tanggapan atas film yang kita tonton sebelumnya.
Secara umum, acara diskusi berlangsung cukup memanas dan interaktif, baik antara pembicara dan peserta diskusi dalam menyampaikan pendapat dan komentar mereka terhadap isu-isu yang ditampilkan dalam film ini.
sejalan dengan tema diskusi, menurut saya film swing girls merepresentasikan tiga isu yang ingin diangkat dalam diskusi ini, yaitu Pencerahan, Emansipasi, dan Ide-ide tentang Kemajuan.


Film Swing Girls adalah film komedi produksi 2004, yang disutradarai oleh Shinobu Yaguchi
Film ini menceritakan tentang sekelompok anak perempuan di daerah perfektur Yamagata Jepang. Para anak perempuan digambarkan sebagai anak-anak "under dog" yang sedang mengikuti kelas tambahan di musim panas. Anak-anak perempuan ini digambarkan sebagai anak perempuan yang pemalas, bodoh, dan tidak bersemangat. Tapi pada suatu hari Tomoko (bintang utama yang diperankan oleh Juri Ueno) melihat kesempatan untuk kabur dari kelas tambahan dengan membawakan bento untuk kelompok brass band sekolah mereka. dalam perjalanan mereka kelewatan sehingga mereka harus berjalan hampir satu jam ke tempat pertandingan baseball dimana brass band sedang mengadakan pertunjukkan. 
singkat cerita bento yang dibawakan sudah rusak dan semua anggota brass band masuk rumah sakit. Dan sebagai pertanggung jawaban mereka diminta untuk menggantikan anggota brass band yang sedang sakit. awalnya mereka menolak bekerja sama dan hanya main-main saja, tapi lama kelamaan mereka menemukan keasyikan sendiri dalam memainkan alat musik yang kemudian akhirnya musik ini yang merubah hidup mereka.

Film bergenre komedi ini ingin memaparkan tentang semangat kerja keras, kerja sama, dan  pantang menyerah menghadapi halangan dalam berekspresi. Hal yang menarik dari film ini adalah pemilihan musik swing Jazz yang notabene merepresentasikan musik pembrontakan, protes, dan penuh improvisasi. dikontraskan dengan gambaran masyarakat Jepang yang homogen dan mementingkan harmonis dalam kehidupan sehari-harinya. dan juga dengan menampilkan tokoh utama anak-anak perempuan semakin menambah penekanan tiga isu yang ingin diangkat dalam diskusi hari ini.

note: Jika ingin mengetahui tentang musik Jazz lebih dalam silahkan klik post gudang teori tentang musik jazz ya ^_^
JAYAPOKEN: Jazz dan Ekspresi Musik

Konsep Budaya menurut Raymond Williams

Konsep Budaya menurut Raymond Williams

Seperti yang pernah dibahas sebelumnya oleh Andam, mengenai konsep budaya. Maka saya ingin mencoba untuk menjelaskan konsep budaya tersebut lebih rinci lagi.

Kalau kita mau berkecimpung di dalam bidang kajian budaya atau Cultural Studies, maka ada baiknya kita mengetahui apa sih yang namanya budaya itu sendiri. Kalau menurut Raymond Williams, kata budaya atau culture itu adalah satu diantara tiga kata yang paling sulit untuk didefinisikan di dalam bahasa Inggris. Dia menyarankan tiga pengertian yang dapat digunakan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan budaya. Ketiganya adalah :

  • A general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development 
  • A particular way of life, whether of a people, a period or a group
  • Refer to a works and practices of intellectual and especially artistic activity 


  • Sebuah proses umum dari intelektual, spiritual, dan perkembangan estetika
  • Cara hidup yang khusus baik dari seseorang manusia, suatu periode, atau pun suatu kelompok
  • Mengacu kepada karya-karya atau praktek-praktek intelektual dan khususnya kegiatan-kegiatan yang bersifat seni.
                                                                                                             (Storey, 2009: hlm 1-2).

Dari tiga pengertian yang disarankan oleh Raymond Williams ini maka akan didapatkan tiga wujud dari kebudayaan tersebut, selaras dengan yang dikemukakan oleh J.J. Hoenigman yakni :

Wujud Gagasan (Ideal)
Wujud gagasan ini adalah wujud kebudayaan yang bersifat abstrak, dia tidak dapat diraba ataupun disentuh. Wujud ini adanya di dalam kepala kita atau dalam alam pikiran kita. Dia bisa berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, konvensi, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dari wujud gagasan ini adalah konsep seni dan keindahan yang ada di dalam suatu lingkungan masyarakat dan budaya tertentu, untuk masyarakat dan budaya Jepang mungkin yang banyak kita kenal adalah konsep keindahan wabi dan sabi. Untuk yang tergolong ke dalam budaya populer mungkin konsep keindahan kawaii.

Wujud Aktivitas (Tindakan)
Wujud Aktivitas atau Tindakan adalah wujud kebudayaan yang berupa tindakan yang berpola dari manusia di dalam suatu masyarakat. Sering juga wujud ini dikatakan sebagai sistem sosial. Wujud ini terjadi karena interaksi manusia dengan manusia lainnya ataupun juga dengan lingkungannya. Sifatnya konkret dan dapat diamati ataupun didokumentasikan. Contoh yang paling mudah dan sederhana dalam wujud ini adalah pola makan dalam tiap-tiap budaya, walaupun sama-sama tindakannya makan namun pola-pola aktivitas atau caranya berbeda-beda. Untuk contoh yang lebih rumit mungkin bisa kita lihat dalam pola-pola aktivitas dalam Matsuri atau perayaan. Tari-tari yang digunakan, gerakan-gerakan yang dilakukan dan lain-lainnya. Untuk budaya populer? Banyak loh, kita ambil saja pola tindakan dari suatu kelompok yang mungkin bisa dikatakan sebagai penganut budaya populer tersebut, misalnya Otaku. Dalam Otaku sendiri banyak sekali aktivitas yang terpola sehingga dapat dikatakan membentuk suatu budaya kelompok sendiri.

Wujud Artefak (Karya)
Wujud Artefak atau karya adalah wujud kebudayaan yang paling mudah untuk dilihat, diraba, disentuh, dicari, dan dinikmati. Wujud ini merupakan hasil dari aktivitas atau kegiatan manusia dalam masyarakat sebagai upaya untuk menjalani kehidupan, berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sifatnya paling kongkret di antara ketiga wujud yang ada. Sebagai contohnya, apabila kita melakukan tindakan berupa makan, tentunya ada pola-pola tindakan yang dilakukan, supaya pola-pola tindakan tersebut dapat dengan mudah dilakukan maka terciptalah alat atau artefak tersebut, seperti sendok untuk mempermudah kita mengantarkan makanan ke dalam mulut kita. Contoh dalam budaya Jepang, banyak loh. Cari aja di sekitar kita, pasti kita bisa menemukannya. (^-^)

John Storey, Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Fifth Edition, Pearson Longman :                    2009.
Psikologi dan Semangat Bushidō
terhadap Karyawan Jepang
「武士道の精神・魂における日本の会社員」


              Pada tanggal 24 Nopember 2012, Aji Yudistira dan Roberto Masami menjadi pembicara seminar di Universitas Negeri Jakarta yang diselenggarakan oleh HIMA Bahasa Jepang dalam acara JIMAT (JIyuu MATsuri) 2012 dengan tema “Mengungkap Eksistensi Samurai Masa Kini”. Kami mendapat kesempatan sekitar jam 10:15 WIB yang dimulai dengan makalah dari Roberto Masami yang berjudul “Psikologi dan Semangat Bushidō terhadap Karyawan Jepang” /「武士道の精神・魂における日本の会社員」. Materi banyak diambil dari buku Bushidō ~The Soul of Japan~ (武士道) karangan Inazō Nitobe (新渡戸 稲造), politikus Jepang.

              Presentasi dimulai dengan percakapan antara Nitobe dengan M. De Laveleye (pakar hukum dari Belgia). “Apakah di Jepang tidak ada agama?”, tanya Laveleye. Nitobe menjawab, “Tidak ada.” Kemudian Laveleye menjawab, “Tidak ada agama?! Kalau begitu, bagaimana cara mengajarkan moral?”

Dalam karya sastra Jepang Hagakure (葉隠れ), Tsunetomo Yamamoto (山本常朝); Bushidō adalah mencari kematian (死ぬ事と見つけたり). Pada zaman Edo (1603–1868), Bushidō terbentuk dari dasar Confusius, Neo-Confusius, Shinto, dan Zen Buddha yang kemudian menjadi struktur feodal yang bersifat psikologi. Setelah zaman Meiji, Bushidō menjadi moral masyarakat yang utama.

Ada sedikit penjelasan mengenai bentuk komposisi antara Giri dan Ninjyō (義理人情複合形成) dari teori Hiroshi Minami ( ), jenis Katana berdasarkan bentuknya (形状による分類), budaya malu (恥の文化), 5 ketentuan moral orang Jepang (日本人の五常の徳), dan psikologi & semangat Bushidō.

Penjelasan materi mulai menarik ketika membahas seppuku (hukuman mati terhadap samurai) dan jisatsu (bunuh diri). Ternyata peserta yang datang masih ada yang salah pengertian antara seppuku dengan jisatsu dan katana dengan samurai.
 
(Shimizu Muneharu/清水宗治,
melakukan seppuku dengan penuh kebanggaan)
 
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 
Psikologi dan Semangat Bushidō


Sebagai Bushidō, Inazo Nitobe (新渡戸 稲造) menjelaskan psikologi dan semangat Bushido (武士道の精神・魂) terdiri dari :
1. 義(gi) : justice, righteousness
2. 勇() : courage, bravery
3. 仁(jin) : benevolence, kindness (love, affection, consideration)
4. 礼(rei) : respect, etiquette
5. 誠(makoto) : honesty, truth
6. 名誉(meiyo) : honor
7. 忠義(chūgi) : loyalty, devotion
(新渡戸 稲造、2004)

Pada zaman modern, moral tersebut menjadi 5 ketentuan moral orang Jepang (日本人の五常の徳)
1. 仁(jin) : benevolence, kindness (love, affection, consideration)
2. 義(gi) : justice, righteousness
3. 礼(rei) : respect, etiquette
4. 智(chi) : wisdom, intellect
5. 信(sin) : trustworthy, reliable
(新渡戸 稲造、2004、ページ196)


Hiroshi Minami ( ) juga menjelaskan di dalam psikologi Jepang di gambarkan 4 kutub vertikal-horizontal dengan bentuk komposisi antara Giri dan Ninjō (義理人情複合形成) :
1. 義理 (Giri) : kewajiban satu arah
2. 人情 (Ninjō) : perasaan manusiawi
3. 反義理 (Han-Giri) : tidak menjalankan kewajiban satu arah (bertentangan dengan Giri)
4. 反人情 (Han-Ninjō) : tidak memiliki perasaan manusiawi (bertentangan dengan Ninjō)
(南 博、1983、ページ41)



Wednesday, November 7, 2012

Konsep Ideologi dalam kajian budaya populer

Sebagaimana telah dijelaskan di entri sebelumnya, dalam mengkaji budaya populer ada tiga konsep penting, yaitu budaya, ideologi, dan populer. Entri sebelumnya sudah memberikan definisi budaya yang terkait dengan kajian budaya populer, maka kali ini akan menjelaskan konsep kedua yaitu konsep ideologi.  
Berkaitan dengan ideologi, John Storey, dalam bukunya yang berjudul "Teori Budaya dan Budaya Pop",  memberikan lima definisi  ideologi. Pertama, ideologi merupakan suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Kedua, ideologi adalah teks-teks atau praktik-praktik budaya tertentu yang menghadirkan berbagai macam citra tentang realitas tertentu yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktik-praktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai ‘kesadaran palsu’. Ketiga, ideologi adalah teks-teks budaya atau ‘bentuk-bentuk ideologis’ untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia. Keempat, ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai suatu praktik material. Artinya, ideologi bisa dijumpai dalam ‘praktik’ kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ‘ide-ide’ tertentu tentang kehidupan sehari-hari. Kelima, ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks atau praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apapun. Ideologi (atau mitos, menurut Barthes) dalam definisi ini menuntun kita pada perjuangan hegemonik untuk membatasi konotasi, untuk menetapkan konotasi-konotasi partikular, dan memproduksi konotasi-konotasi baru (2003, 4-9). Dalam sudut pandang cultural studies, yaitu pernyataan dari Stuart Hall, jika ingin membahas budaya pop kita tidak bisa tidak membahas idelogi. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa semua fenomena atau gejala budaya yang terjadi disekeliling kita adalah hasil konstruksi makna dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain, pembahasan mengenai budaya pop kita tidak bisa mengabaikan ideologi yang  terinternalisasi di dalam media dan elemen budaya pop tersebut. Maka dari itu penting adanya kita memahami tentang konsep ideologi.