Friday, September 17, 2010

Modernisme

Apabila kita membicarakan budaya populer, maka kita tidak bisa lepas dari kondisi kemunculan budaya populer yaitu konsep "Modernisme"

Apakah yang dimaksud dengan Modernisme?

Secara sederhana modernisme adalah suatu keadaan yang serba maju, gemerlap dan menenangkan hati. Dengan kata lain mengacu kepada perkembangan teknologi seperti ditemukannya listrik, diciptakannya mobil, kereta api, makanan siap saji, telepon genggam, komputer, internet dan lain sebagainya. hasil dan karya cipta tersebut berkembang dan bermetamorfosis di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dalam hal ini modernisasi menandakan kondisi selalu berubah dan tidak pasti dan juga menjanjikan suatu kondisi yang lebih baik.

Apakah benar demikian adanya?

Adapun bentuk-bentuk kebudayaan yang menandai modernisasi antara lain: a) Rasionalitas, b) industri, dan c) teknologi.

Rasionalitas adalah hasil dari pencerahan "akal budi" yang membantu kita menghadapi mitos-mitos serta keyakinan-keyakinan tradisional yang tidak mendasar. Menurut Chris Baker "akal" dapat mende-mistifikasikan dan menyingkap dunia, mengalahkan agama, mitos dan takhayul.
sedangkan dalam filsafat: "akal" sumber kemajuan dalam pengetahuan dan masyarakat, sehingga munculah istilah "filsafat pencerahan" --> mencari kebenaran universal, yakni prinsip-prinsip pengetahuan yang berlaku pada waktu, tempat dan budaya manapun.

Dalam filsafat pencerahan --> mendorong perkembangan ilmu-ilmu, pendidikan universitas, dan kebebasan dalam politik dan keadilan.

Pada permukaannya paparan tentang konsep modernisasi memang nampak disekeliling kita, tapi para pemikir aliran Marx berpendapat pemikiran tentang pencerahan bukannya melahirkan kemajuan, tetapi justru memunculkan penindasan dan dominasi. Menurut mereka, akal mengarah bukan pada pemenuhan kebutuhan material atau pencerahan filosofis, melainkan kepada kontrol dan perusakan.

Teknologi --> akan membawa kita ke kehidupan yang serba mudah, cepat, dan lebih baik --> menawarkan penyelesaian kilat ( John Naisbit).

Teknologi juga mempunyai "sisi gelap" (Baker mengutip Berran) "menjadi modern sama artinya dengan berada di sebuah lingkungan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, kegembiraan,
pertumbuhan, transformasi diri dan dunia kita- yang sekaligus juga mengancam akan rusak segala yang kita miliki, segala yang kita tahu, dan keseluruhan diri kita".

Dengan kata lain, modernisme itu bukan budaya yang pasti, tetapi dinamisme modernitas itu sendiri didasarkan pada revisi pengetahuan secara terus menerus.



Tuesday, September 14, 2010

Vocaloid: “Eh? Bukan anime?”





By:Rizki Musthafa A

Dua tahun sudah saya mengenal kata ini. Ketika saya berkenalan untuk pertama kalinya dengan kata ini sekitar akhir 2008, kalimat yang muncul di benak tidak lebih dari : “karakter anime ini lumayan menarik yah”.

Salah. Ternyata VOCALOID bukanlah anime.

Dua tahun yang lalu, tepatnya 9 November 2008, bukan sebuah kebetulan juga rasanya ketika saya dengan niat menggebu berkunjung ke sebuah festival, Japan-Indonesia Matsuri, di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Siang itu di antara banyaknya acara yang berlangsung, ada pula lomba parade cosplay di salah satu sudut panggung yang telah disediakan oleh panitia. Beberapa grup cosplay pun menampilkan kabaret-kabaret yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Muncullah sebuah grup kabaret, yang menampilkan karakter-karakter dari “Vocaloid”. Seperti telah saya ungkapkan di atas, Vocaloid, bagi saya saat itu, mungkin memang sama saja dengan anime-anime lain yang pernah saya tonton selama ini. Tidak lebih dari perasaan tertarik oleh warna-warni karakternya (bisa jadi juga karena manisnya para cosplayer yang berperan di sini?/////). Mereka meng-cover sebuah tarian, diiringi lagu yang bernuansa cukup unik. Kami para otaku lebih menyebut rasa unik ini: ‘moé’, imut, cukup dapat membuat pipi anda bersemu merah melihatnya. Belakangan saya mengenali lagu ini sebagai “Kurutto Mawatte Ikkaiten”, lagu penutup ke-9 dari seri anime Keroro Gunsou. Yang membuat saya terkesan saat itu lebih kepada si tokoh utama (setidaknya terlihat jelas anak inilah tokoh utamanya), gadis berambut hijau terang dan keluar dengan kata-kata “Miku da mon...”.

Dialah Hatsune Miku.

Cerita ini pun bergulir sampai ke awal tahun 2009. Setelah menjelajahi dunia maya akhirnya saya tahu apa sebenarnya Vocaloid ini: Software. Ya, alih-alih sebuah serial animasi seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata vocaloid adalah sebuah piranti lunak yang dipergunakan di komputer.
Menurut informasi yang saya tonton dari Asahi TV, dua buah perusahaan di Jepang, yaitu Yamaha dan Crypton Future Media Co.Ltd. beberapa tahun belakangan telah bekerjasama mengembangkan sebuah piranti lunak yang dapat dibuat bernyanyi seperti layaknya seorang penyanyi manusia, dengan menggunakan file MIDI beserta ketikan lirik yang kita masukkan ke dalamnya.
Dengan kata lain, sebuah Penyanyi Virtual.
Dengan kata lain, ya... Vocaloid ini. Saya membayangkan pada akhirnya punya seorang teman penyanyi yang menginap seharian di kamar, dapat disuruh bernyanyi kapan saja. Apa saja mau ia nyanyikan, tanpa keluh, tanpa bosan, tanpa minum atau makan, sesetia itu.
Beberapa pejalan kaki yang diwawancarai di kawasan pusat perdagangan elektronik Akihabara, pun mengakui kekaguman mereka dan tak menyangka bahwa yang ‘bernyanyi’ adalah sebuah software, ketika mereka berjalan-jalan di trotoar dan mendengarkan lantunan suara dari Hatsune Miku.

Sepanjang akhir tahun 2008 saya pun mengunduh dan membaca lumayan banyak informasi di internet mengenai robot, manusia buatan, kecerdasan buatan, sampai kepada ramalan Davy Levy seorang peneliti di Universitas Maastricht, Belanda: "Negara bagian Massachusets, Amerika Serikat bisa saja mulai merumuskan undang-undang perkawinan antara manusia dan robot pada tahun 2050". Melihat begitu ramainya dunia industri robot, wajar rasanya jika saya masih menganggap fenomena piranti lunak Vocaloid, sama saja hebohnya seperti Asimo yang bisa melakukan berbagai hal, termasuk bernyanyi, menari, dan memainkan alat musik, hanya sebagian contoh lain saja dari perkembangan teknologi. Belum timbul pikiran bahwa hal ini ternyata telah dianggap titik tolak yang ternyata telah di-klaim sebagai tonggak sejarah industri hiburan di abad 21 ini.

Sebagai salah seorang pengguna piranti digital dalam bermusik, rasa wajar tersebut mulai berubah setelah saya mencoba sendiri seperti apa penyanyi virtual ini ketika beraksi. Beberapa lagu berbahasa Jepang yang telah saya gubah sebelumnya, (sejak tahun 1994) sudah memiliki lirik, namun belum dapat dinyanyikan karena saya tak menemukan vokalis perempuan yang pas suara dan hawa moe-nya. Beberapa orang teman yang pernah berkolaborasi dalam band komunitas pecinta lagu-lagu jepang pun tak mungkin saya paksa untuk menyanyi lebih moe, selain keterbatasan waktu, jarak dan juga (maaf) karena bukan pasangan sendiri. Lebih tidak menarik lagi kalau laki-laki yang bernyanyi.^^Salah satu lagu yang pernah dipublikasikan pada masa-masa awal saya menggunakan Vocaloid sebagai penyanyi virtual adalah soundtrack dari Gelar Jepang UI 2009, “Kanashii toki wa Itsumo Hatenakute Mieta” (Suara karakter yang pertama-tama saya gunakan adalah Hatsune Miku). Soundtrack pendahulunya untuk tahun 2004, 2005, dan 2007, “Niji no Kuni”, juga dinyanyikan dengan apik oleh Vocaloid Hatsune Miku, walau terkesan sangat elektronik (mau bagaimana lagi, toh Miku memang software).
Sejak pengalaman-pengalaman ini, warna suara Miku yang mewakili remaja SMU usia sekitar 16 tahunan cukup membuat saya merasa impian membuat lagu berbahasa Jepang yang bergaya kawaii atau moe, sebagian telah terwujud.

VOICE LIBRARY YANG MENJUAL?

Karakter Miku tidak sendirian dalam dunia tarik suara virtual, ia merupakan jilid kesekian dari seri-seri karakter yang telah mewakili software Vocaloid sebelumnya. Dalam hal ini pula ternyata terjadi persaingan dari perusahaan-perusahaan pembuat vocaloid. Para perusahaan pembuat menyebut karakter-karakter ini dengan istilah voice library, atau CV (Character voice).

Zero-G Unlimited, sebuah perusahaan Inggris, terlebih dahulu memproduksi Vocaloid. Voice Library pertama mereka, Leon dan Lola, mengawali perjalanan idola-idola virtual ini sejak ditampilkan dalam NAMM show, 15 Januari 2004. Bank suara mereka dilanjutkan oleh Vocaloid Miriam, yang suaranya diisi oleh penyanyi Inggris, Miriam Stockley (diterbitkan 1 Juli 2004).

Crypton Future Media yang berpusat di Sapporo, Hokkaido, Jepang pun menerbitkan juga Vocaloid Meiko (5 November 2004), yang karakternya mewakili seorang model, Meiko Haigo. Walau demikian suara Meiko murni dibuat secara digital. Lalu terbitlah vocaloid berikutnya yaitu Vocaloid Kaito pada tanggal 17 Februari 2006, setelah terlebih dulu memperkenalkannya pada khalayak pada tanggal 3 Maret 2004. Suara Kaito diambil dari penyanyi Naoto Fuuga. Sayangnya Kaito tidak begitu disambut dengan meriah, karena suara laki-lakinya sepertinya kurang begitu menarik bagi para otaku. Bagaimanapun, Crypton Future Media sebagai perusahaan pembuat Vocaloid di Jepang tampaknya lebih menyadari pentingnya arti sebuah karakter atau penokohan dalam memasarkan Vocaloid dibandingkan dengan perusahaan saingannya di Eropa.
Yamaha pun mengumumkan seri Vocaloid 02 pada bulan Januari 2007. Hanya satu bulan berselang, Power FX, sebuah perusahaan Swedia merilis pula Vocaloidnya yang bernama SweetAnn. Setelah itu Crypton Future Media memutuskan untuk menghadirkan karakter yang lebih kuat daya tariknya dalam Vocaloid 02, yaitu Hatsune Miku pada tanggal 17 Agustus 2007. Nama Miku sendiri berasal dari huruf kanji Hatsu (初, awal), Ne (音, bunyi), dan Miku (未来, Masa Depan, ditulis dalam huruf katakana ミク).
Pasar otaku di Jepang pun bergolak. Hatsune Miku, yang suaranya disulih oleh pengisi suara Saki Fujita berhasil meraih angka penjualan yang demikian tinggi hingga habis stoknya di hari pertama dipasarkan.

Kaito, Meiko dan juga Miku beserta voice library lainnya yang nantinya menyusul, meraih nilai lebih, terbukti dari tingginya permintaan akan piranti ini sejak diluncurkan. Terlebih lagi Crypton sepertinya menyadari pula bahwa karakter yang bersifat moe dapat lebih diterima. Vocaloid beserta karakter-karakternya muncul sebagai fenomena yang merebak bagaikan jamur di musim hujan.

Desain Hatsune Miku, yang dirancang oleh ilustrator bernama samaran KEI, menjelma menjadi ikon idola yang disukai dan dengan cepatnya menjadi idola bagi sebagian besar kalangan otaku. Beberapa saat kemudian, seiring dengan popularitas Miku yang semakin meningkat, Crypton Future Media kemudian ‘membuatkan’ adik kembar bagi Miku, Kagamine Rin dan Kagamine Len, yang suaranya diisi oleh Asami Shimoda.
鏡音リン・レン act2

sementara karakter lain yang tampil lebih dewasa, Megurine Luka diluncurkan seiring dipasarkannya Vocaloid 02. Suaranya diisi oleh Yuu Asakawa.

Bahkan seorang artis penyanyi terkenal Jepang asal Okinawa, Kamui Gackt, bersedia pula menyumbangkan suaranya untuk menjadi salah satu warna suara yang dapat dipasang dalam Vocaloid. Nama karakter yang diberikan adalah Kamui Gakupo, atau GACKPOID.

Sebuah situs video streaming yang bernama NicoNicoDouga, ternyata tak sengaja menjadi batu loncatan bagi Hatsune Miku dan kawan-kawannya menuju popularitas yang lebih jauh. Video klip berjudul Ievan Polkka, yang diunggah dalam situs NicoNico Douga dan juga Youtube banyak diakui di kalangan otaku sebagai video pertama pemicu lahirnya ritual untuk mencover lagu-lagu yang tercatat sebagai lagu resmi Hatsune Miku. Di situ digambarkan daun bawang yang diayun-ayunkan oleh Miku sambil bernyanyi.

Miku sendiri dalam video itu tampil dengan wajah yang lebih berciri karikatur. Banyak fans yang menamai Miku mungil ini “Hachune Miku” (kemudian nama ini pun diakui pula oleh perusahaan pembuatnya sebagai Miku dalam porsi badan mungil).

Video klip yang dibuat oleh penggemar, dinikmati bersama, ditampilkan bersama lagu yang dibuat oleh penggemar juga. Software ini memperoleh ‘nafas’ dan ‘jiwa’-nya dari komunitas otaku. Hanya saja kali ini merambah ke tingkat yang lebih jauh. Tidak hanya untuk dinikmati bersama, namun diproduksi bersama-sama. Lagu-lagu yang terkumpul menjadi album, berbagai tribut untuk lagu terkenal lainnya yang sudah ada, mulai dari J-Pop, J-Rock ,Soundtrack Anime/ Game, bahkan Enka dan lagu tradisional Jepang lainnya kemudian tersebar luas, dinyanyikan oleh para Vocaloid ini. Situs knowyourmeme.com bahkan menyebutkan bahwa lagu yang telah terkumpul dan dinyanyikan oleh vocaloid telah melebihi 9000 buah. Para musisi, baik amatir maupun profesional, grup maupun perorangan bersama-sama menggunakan Vocaloid dalam lagu yang mereka mainkan.
Sasaran pengguna yang ingin dicapai oleh Crypton Future Media tadinya mungkin saja hanya beberapa kalangan pengguna komputer, lebih tepatnya para musisi, amatir maupun profesional, yang bekerja lewat piranti digital. Hanya saja, sebagian besar musisi profesional di dunia (baca: berbahasa Inggris) baru menggunakan Vocaloid sebagai alat untuk mensimulasikan sebuah lirik lagu untuk diperdengarkan kepada sang penyanyi manusia sebelum rekaman, kalaupun tidak untuk dijadikan penyanyi latar.
Sementara itu, dunia komunitas otaku dan komunitas online mengenal istilah doujinshi, yaitu karya amatir yang dibuat lebih untuk kesenangan dan penghargaan terhadap suatu karya yang telah keluar sebelumnya. Dalam hal ini peran internet sebagai media yang dapat menyebarluaskan sang “virtual idol” amatlah penting. Tidak hanya NicoNicoDouga, melainkan juga situs video streaming lainnya yang lebih dikenal seperti YouTube.
Dengan adanya lingkar kerja yang lebih rumit dan dikerjakan lebih serius seperti ini, mungkinkah Hatsune Miku hanya ditampilkan untuk kesenangan belaka? Pada tanggal 27 Agustus 2008, Oricon Chart mengukuhkan album Vocaloid, “Re-Package” (oleh Livetune) yang terjual sebanyak 20000 kopi. Album ini meraih peringkat kelima di minggu yang sama.
(BERSAMBUNG)

Visual-Kei

Saat kita naik kendaraan, kita melihat satu obyek yang menarik perhatian kita, kita akan mengeluarkan ekspresi spontan sesuai dengan perasaan kita. Belum tentu sebuah apresiasi, tetapi bisa saja suatu hal perasaan kekecewaan, sedih, bingung, dan sebagainya. Contoh seperti saat kita melihat kecelakaan sepeda motor di jalan, biasanya pada saat seperti ini kita akan mengeluarkan ekspresi kasihan, tapi ada juga orang yang menertawakan atau menyanjung. Begitu juga ketika kita tanyakan kepada orang tuna netra mengenai lukisan surealis dari Salvador Dali, pastinya dia akan marah akan pertanyaan itu.

Kata atau istilah Visual-Kei yang merupakan bahasa perpaduan serapan bahasa Inggris dan bahasa Jepang, jika kita teliti terdiri dari kata ‘visual’ dan ‘kei’. Visual yang dalam kamus Oxford adalah of or connected with seeing or sight, yang artinya sesuatu berhubungan dengan penglihatan atau tampilan. Kei yang artinya sistim, aliran, dan keturunan. Visual-Kei yang biasa orang mengartikannya aliran yang berhubungan seni peragaan atau penampilan. Mungkin hampir serupa dengan istilah visual art, tetapi obyeknya berupa lukisan, guci keramik, patung, arsitektur, dan lain-lain.

Ada orang yang mengatakan visual-kei itu hanyalah penampilan luar, tetapi sebenarnya dengan penampilan itulah kita bisa melihat karakter dari manusia itu. Adapun dengan model atau warna yang bisa kita lihat pada obyek tersebut terdapat pesan yang disampaikan kepada kita.

Ketika kita lihat di pertandingan sepak bola dunia, ada disatu bagian berwarna merah dan satu bagiannya berwarna biru. Jika kita di luar negeri, bisa saja kita menebak itu kelompok Hooligans atau supporter Manchester United, tanpa melihat lambang Red Devil.

Ketika kita ke daerah Amazon, Amerika Selatan; kita juga bisa membedakan suku-suku dengan corak-corak yang spesifik. Di dalam satu suku pun kita juga bisa membedakan tanpa berkomunikasi mengenai mana yang penduduk biasa dengan kepala suku.

Apakah kita bisa melihat karakter, kelompok, pesan, dan sebagainya tanpa berkomunikasi? Jawabnya “ya”, walau terkadang hanya sebuah asumsi, karena itu hanya sebagian informasi yang kita dapat simpulkan sementara berdasarkan pengetahuan yang pernah kita dapatkan.

Berbicara mengenai appearance atau tampilan, ada satu kejadian yang cukup menggemparkan dunia dengan kehadiran 3 Tenors (Pavarotti, Domingo, dan Carreras). Mereka bertiga menampilkan sebuah panggung spektakuler, yakni tata pencahayaan, amplifier yang cukup besar, dan dekorasi yang modern, padahal mereka hanya membawakan lagu-lagu klasik era 1800-an dan tempatnya di Caracalla, Roma (video). Lagu lama dengan penampilan baru, apakah ini bisa juga kita anggap dengan visual-kei?