Tuesday, December 4, 2012

Rangkaian Pemutaran dan Diskusi Film yang mencerahkan, "Enlightenment, Emancipation, and Ideas of Progress


Pada hari selasa, tanggal 30 Oktober 2012 yang lalu, saya diundang oleh Japan Foundation Kine Klub sebagai salah satu pembicara di acara "Rangkaian Pemutaran dan Diskusi Film yang mencerahkan, "Englightment, Emancipation, and Ideas of Progress. Film yang diputar adalah berjudul Swing Girls. Acara diskusi ini merupakan acara rutin antara Japan Foundation Kine Klub dengan Freedom Institute yang diadakan setiap hari selasa terakhir setiap dua bulan tanpa dipungut bayaran, dengan kata lain gratisan.
Acara diawali dengan menonton bersama film Swing Girl, kemudian dilanjutkan dengan coffee and snack, baru setelah itu diskusi dimulai. Masing-masing pembicara diberikan waktu kurang lebih 15 menit untuk memberikan komentar dan tanggapan atas film yang kita tonton sebelumnya.
Secara umum, acara diskusi berlangsung cukup memanas dan interaktif, baik antara pembicara dan peserta diskusi dalam menyampaikan pendapat dan komentar mereka terhadap isu-isu yang ditampilkan dalam film ini.
sejalan dengan tema diskusi, menurut saya film swing girls merepresentasikan tiga isu yang ingin diangkat dalam diskusi ini, yaitu Pencerahan, Emansipasi, dan Ide-ide tentang Kemajuan.


Film Swing Girls adalah film komedi produksi 2004, yang disutradarai oleh Shinobu Yaguchi
Film ini menceritakan tentang sekelompok anak perempuan di daerah perfektur Yamagata Jepang. Para anak perempuan digambarkan sebagai anak-anak "under dog" yang sedang mengikuti kelas tambahan di musim panas. Anak-anak perempuan ini digambarkan sebagai anak perempuan yang pemalas, bodoh, dan tidak bersemangat. Tapi pada suatu hari Tomoko (bintang utama yang diperankan oleh Juri Ueno) melihat kesempatan untuk kabur dari kelas tambahan dengan membawakan bento untuk kelompok brass band sekolah mereka. dalam perjalanan mereka kelewatan sehingga mereka harus berjalan hampir satu jam ke tempat pertandingan baseball dimana brass band sedang mengadakan pertunjukkan. 
singkat cerita bento yang dibawakan sudah rusak dan semua anggota brass band masuk rumah sakit. Dan sebagai pertanggung jawaban mereka diminta untuk menggantikan anggota brass band yang sedang sakit. awalnya mereka menolak bekerja sama dan hanya main-main saja, tapi lama kelamaan mereka menemukan keasyikan sendiri dalam memainkan alat musik yang kemudian akhirnya musik ini yang merubah hidup mereka.

Film bergenre komedi ini ingin memaparkan tentang semangat kerja keras, kerja sama, dan  pantang menyerah menghadapi halangan dalam berekspresi. Hal yang menarik dari film ini adalah pemilihan musik swing Jazz yang notabene merepresentasikan musik pembrontakan, protes, dan penuh improvisasi. dikontraskan dengan gambaran masyarakat Jepang yang homogen dan mementingkan harmonis dalam kehidupan sehari-harinya. dan juga dengan menampilkan tokoh utama anak-anak perempuan semakin menambah penekanan tiga isu yang ingin diangkat dalam diskusi hari ini.

note: Jika ingin mengetahui tentang musik Jazz lebih dalam silahkan klik post gudang teori tentang musik jazz ya ^_^
JAYAPOKEN: Jazz dan Ekspresi Musik

Konsep Budaya menurut Raymond Williams

Konsep Budaya menurut Raymond Williams

Seperti yang pernah dibahas sebelumnya oleh Andam, mengenai konsep budaya. Maka saya ingin mencoba untuk menjelaskan konsep budaya tersebut lebih rinci lagi.

Kalau kita mau berkecimpung di dalam bidang kajian budaya atau Cultural Studies, maka ada baiknya kita mengetahui apa sih yang namanya budaya itu sendiri. Kalau menurut Raymond Williams, kata budaya atau culture itu adalah satu diantara tiga kata yang paling sulit untuk didefinisikan di dalam bahasa Inggris. Dia menyarankan tiga pengertian yang dapat digunakan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan budaya. Ketiganya adalah :

  • A general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development 
  • A particular way of life, whether of a people, a period or a group
  • Refer to a works and practices of intellectual and especially artistic activity 


  • Sebuah proses umum dari intelektual, spiritual, dan perkembangan estetika
  • Cara hidup yang khusus baik dari seseorang manusia, suatu periode, atau pun suatu kelompok
  • Mengacu kepada karya-karya atau praktek-praktek intelektual dan khususnya kegiatan-kegiatan yang bersifat seni.
                                                                                                             (Storey, 2009: hlm 1-2).

Dari tiga pengertian yang disarankan oleh Raymond Williams ini maka akan didapatkan tiga wujud dari kebudayaan tersebut, selaras dengan yang dikemukakan oleh J.J. Hoenigman yakni :

Wujud Gagasan (Ideal)
Wujud gagasan ini adalah wujud kebudayaan yang bersifat abstrak, dia tidak dapat diraba ataupun disentuh. Wujud ini adanya di dalam kepala kita atau dalam alam pikiran kita. Dia bisa berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, konvensi, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dari wujud gagasan ini adalah konsep seni dan keindahan yang ada di dalam suatu lingkungan masyarakat dan budaya tertentu, untuk masyarakat dan budaya Jepang mungkin yang banyak kita kenal adalah konsep keindahan wabi dan sabi. Untuk yang tergolong ke dalam budaya populer mungkin konsep keindahan kawaii.

Wujud Aktivitas (Tindakan)
Wujud Aktivitas atau Tindakan adalah wujud kebudayaan yang berupa tindakan yang berpola dari manusia di dalam suatu masyarakat. Sering juga wujud ini dikatakan sebagai sistem sosial. Wujud ini terjadi karena interaksi manusia dengan manusia lainnya ataupun juga dengan lingkungannya. Sifatnya konkret dan dapat diamati ataupun didokumentasikan. Contoh yang paling mudah dan sederhana dalam wujud ini adalah pola makan dalam tiap-tiap budaya, walaupun sama-sama tindakannya makan namun pola-pola aktivitas atau caranya berbeda-beda. Untuk contoh yang lebih rumit mungkin bisa kita lihat dalam pola-pola aktivitas dalam Matsuri atau perayaan. Tari-tari yang digunakan, gerakan-gerakan yang dilakukan dan lain-lainnya. Untuk budaya populer? Banyak loh, kita ambil saja pola tindakan dari suatu kelompok yang mungkin bisa dikatakan sebagai penganut budaya populer tersebut, misalnya Otaku. Dalam Otaku sendiri banyak sekali aktivitas yang terpola sehingga dapat dikatakan membentuk suatu budaya kelompok sendiri.

Wujud Artefak (Karya)
Wujud Artefak atau karya adalah wujud kebudayaan yang paling mudah untuk dilihat, diraba, disentuh, dicari, dan dinikmati. Wujud ini merupakan hasil dari aktivitas atau kegiatan manusia dalam masyarakat sebagai upaya untuk menjalani kehidupan, berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sifatnya paling kongkret di antara ketiga wujud yang ada. Sebagai contohnya, apabila kita melakukan tindakan berupa makan, tentunya ada pola-pola tindakan yang dilakukan, supaya pola-pola tindakan tersebut dapat dengan mudah dilakukan maka terciptalah alat atau artefak tersebut, seperti sendok untuk mempermudah kita mengantarkan makanan ke dalam mulut kita. Contoh dalam budaya Jepang, banyak loh. Cari aja di sekitar kita, pasti kita bisa menemukannya. (^-^)

John Storey, Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Fifth Edition, Pearson Longman :                    2009.
Psikologi dan Semangat Bushidō
terhadap Karyawan Jepang
「武士道の精神・魂における日本の会社員」


              Pada tanggal 24 Nopember 2012, Aji Yudistira dan Roberto Masami menjadi pembicara seminar di Universitas Negeri Jakarta yang diselenggarakan oleh HIMA Bahasa Jepang dalam acara JIMAT (JIyuu MATsuri) 2012 dengan tema “Mengungkap Eksistensi Samurai Masa Kini”. Kami mendapat kesempatan sekitar jam 10:15 WIB yang dimulai dengan makalah dari Roberto Masami yang berjudul “Psikologi dan Semangat Bushidō terhadap Karyawan Jepang” /「武士道の精神・魂における日本の会社員」. Materi banyak diambil dari buku Bushidō ~The Soul of Japan~ (武士道) karangan Inazō Nitobe (新渡戸 稲造), politikus Jepang.

              Presentasi dimulai dengan percakapan antara Nitobe dengan M. De Laveleye (pakar hukum dari Belgia). “Apakah di Jepang tidak ada agama?”, tanya Laveleye. Nitobe menjawab, “Tidak ada.” Kemudian Laveleye menjawab, “Tidak ada agama?! Kalau begitu, bagaimana cara mengajarkan moral?”

Dalam karya sastra Jepang Hagakure (葉隠れ), Tsunetomo Yamamoto (山本常朝); Bushidō adalah mencari kematian (死ぬ事と見つけたり). Pada zaman Edo (1603–1868), Bushidō terbentuk dari dasar Confusius, Neo-Confusius, Shinto, dan Zen Buddha yang kemudian menjadi struktur feodal yang bersifat psikologi. Setelah zaman Meiji, Bushidō menjadi moral masyarakat yang utama.

Ada sedikit penjelasan mengenai bentuk komposisi antara Giri dan Ninjyō (義理人情複合形成) dari teori Hiroshi Minami ( ), jenis Katana berdasarkan bentuknya (形状による分類), budaya malu (恥の文化), 5 ketentuan moral orang Jepang (日本人の五常の徳), dan psikologi & semangat Bushidō.

Penjelasan materi mulai menarik ketika membahas seppuku (hukuman mati terhadap samurai) dan jisatsu (bunuh diri). Ternyata peserta yang datang masih ada yang salah pengertian antara seppuku dengan jisatsu dan katana dengan samurai.
 
(Shimizu Muneharu/清水宗治,
melakukan seppuku dengan penuh kebanggaan)
 
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 
Psikologi dan Semangat Bushidō


Sebagai Bushidō, Inazo Nitobe (新渡戸 稲造) menjelaskan psikologi dan semangat Bushido (武士道の精神・魂) terdiri dari :
1. 義(gi) : justice, righteousness
2. 勇() : courage, bravery
3. 仁(jin) : benevolence, kindness (love, affection, consideration)
4. 礼(rei) : respect, etiquette
5. 誠(makoto) : honesty, truth
6. 名誉(meiyo) : honor
7. 忠義(chūgi) : loyalty, devotion
(新渡戸 稲造、2004)

Pada zaman modern, moral tersebut menjadi 5 ketentuan moral orang Jepang (日本人の五常の徳)
1. 仁(jin) : benevolence, kindness (love, affection, consideration)
2. 義(gi) : justice, righteousness
3. 礼(rei) : respect, etiquette
4. 智(chi) : wisdom, intellect
5. 信(sin) : trustworthy, reliable
(新渡戸 稲造、2004、ページ196)


Hiroshi Minami ( ) juga menjelaskan di dalam psikologi Jepang di gambarkan 4 kutub vertikal-horizontal dengan bentuk komposisi antara Giri dan Ninjō (義理人情複合形成) :
1. 義理 (Giri) : kewajiban satu arah
2. 人情 (Ninjō) : perasaan manusiawi
3. 反義理 (Han-Giri) : tidak menjalankan kewajiban satu arah (bertentangan dengan Giri)
4. 反人情 (Han-Ninjō) : tidak memiliki perasaan manusiawi (bertentangan dengan Ninjō)
(南 博、1983、ページ41)