Budaya
populer Jepang mulai berkembang sejak Jaman Edo. Ketika itu Jepang yang berada
di bawah kekuasaan Tokugawa melakukan politik menutup diri dari dunia luar
(sakoku). Sebagaimana disebutkan oleh Kato Hidetoshi (Powers & Hidetoshi,
1985),
“…Japan during her period of isolation
achieved a unique cultural maturity. Indeed, as Arnold Toynbee aptly remarked,
from 1612 through 1868, approximately two and a half centuries, there existed in
Japan the only period in the whole of human history where absolute peace
prevailed and society devoted its efforts to cultural enterprises. Of course,
there were minor internal conflicts, but after the Tokugawa government firmly
established its power, Japan's economic surplus, which otherwise would have
been used for foreign investment and external expansion, found its outlet in
the area of domestic cultural development, particularly popular culture in the
strict sense of the term”.
Pada
saat itu Jepang relatif serba damai sehingga konsentrasi masyarakatnya lebih
difokuskan dalam perkembangan aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya. Sebagaimana disebutkan Robert N. Bellah
(Bellah, 1992:15) bahwa di bawah kekuasaan Tokugawa, Jepang mengalami perubahan
dalam segi politik, sosial dan budaya, antara lain “… terbentuknya pasar
nasional, keunggulan ekonomi uang, peningkatan urbanisasi, perbaikan sistem
komunikasi, bertambah miskinnya kelas samurai, bertambah banyaknya kaum
pedagang, munculnya budaya seni dan susastra baru yang lebih cocok bagi
penghuni kota daripada kalangan istana……”.
Sementara itu,
Timothy J. Craig (Craig, 2000:7) menyebutkan, “The bloodlines of today’s popular culture
go back
in particular to the vibrant bourgeois culture, born of the common people and
aimed at the new urban middle class, which developed and flourished during
Japan’s Edo Period (1603-1867)”. Pendapat Craig didukung oleh Nakane Chie. Ia
menyatakan bahwa kebudayaan jaman Tokugawa adalah kebudayaan orang kota dimana
budaya populer mendapat tempat istimewa. Adapaun penyataan Nakane Chie (Nakane & Shinzaburo, 1991:228-229)
adalah sebagai berikut :
Tokugawa culture
is said to be a culture of the townsmen. Edo, Kyoto, and Osaka were primary
centers of the cultural activity, but the wealth of the merchant class helped
develop culture among both townspeople and, to some extent, farmers. In the
visual arts, the theaters, and in all aspects of dress, diet, and home, popular
culture show a remarkable degree of sophistication.
Berdasarkan pendapat dari Kato, Bellah, Craig, dan
Nakane di atas, dapat disimpulkan, budaya populer Jepang yang berkembang dewasa
ini mempunyai hubungan erat dengan perkembangan budaya populer Jepang pada masa
feodal, khususnya jaman Tokugawa. Oleh karena itu, budaya populer Jepang
kontemporer harus dipahami sebagai sebuah tradisi budaya yang terus berkembang
sejak periode Tokugawa.