Monday, December 17, 2012

Sekilas tentang Budaya Populer Jepang Tradisional



Budaya populer Jepang mulai berkembang sejak Jaman Edo. Ketika itu Jepang yang berada di bawah kekuasaan Tokugawa melakukan politik menutup diri dari dunia luar (sakoku). Sebagaimana disebutkan oleh Kato Hidetoshi (Powers & Hidetoshi, 1985),
“…Japan during her period of isolation achieved a unique cultural maturity. Indeed, as Arnold Toynbee aptly remarked, from 1612 through 1868, approximately two and a half centuries, there existed in Japan the only period in the whole of human history where absolute peace prevailed and society devoted its efforts to cultural enterprises. Of course, there were minor internal conflicts, but after the Tokugawa government firmly established its power, Japan's economic surplus, which otherwise would have been used for foreign investment and external expansion, found its outlet in the area of domestic cultural development, particularly popular culture in the strict sense of the term”.
Pada saat itu Jepang relatif serba damai sehingga konsentrasi masyarakatnya lebih difokuskan dalam perkembangan aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya.  Sebagaimana disebutkan Robert N. Bellah (Bellah, 1992:15) bahwa di bawah kekuasaan Tokugawa, Jepang mengalami perubahan dalam segi politik, sosial dan budaya, antara lain “… terbentuknya pasar nasional, keunggulan ekonomi uang, peningkatan urbanisasi, perbaikan sistem komunikasi, bertambah miskinnya kelas samurai, bertambah banyaknya kaum pedagang, munculnya budaya seni dan susastra baru yang lebih cocok bagi penghuni kota daripada kalangan istana……”.  Sementara itu, 
Timothy J. Craig (Craig, 2000:7) menyebutkan, “The bloodlines of today’s popular culture go back in particular to the vibrant bourgeois culture, born of the common people and aimed at the new urban middle class, which developed and flourished during Japan’s Edo Period (1603-1867)”. Pendapat Craig didukung oleh Nakane Chie. Ia menyatakan bahwa kebudayaan jaman Tokugawa adalah kebudayaan orang kota dimana budaya populer mendapat tempat istimewa. Adapaun penyataan Nakane Chie  (Nakane & Shinzaburo, 1991:228-229) adalah sebagai berikut :

Tokugawa culture is said to be a culture of the townsmen. Edo, Kyoto, and Osaka were primary centers of the cultural activity, but the wealth of the merchant class helped develop culture among both townspeople and, to some extent, farmers. In the visual arts, the theaters, and in all aspects of dress, diet, and home, popular culture show a remarkable degree of sophistication. 

Berdasarkan pendapat dari Kato, Bellah, Craig, dan Nakane di atas, dapat disimpulkan, budaya populer Jepang yang berkembang dewasa ini mempunyai hubungan erat dengan perkembangan budaya populer Jepang pada masa feodal, khususnya jaman Tokugawa. Oleh karena itu, budaya populer Jepang kontemporer harus dipahami sebagai sebuah tradisi budaya yang terus berkembang sejak periode Tokugawa.